"Kamu serius, Sha?" Jaka mendesaknya. Tapi tekad gadis itu sudah bulat. Shasha mengangguk perlahan. Baginya semua sudah tidak berarti. Pria itu banyak berubah sejak Komar kembali ke desanya. Bagi Shasha, Jaka sudah tidak berbeda dengan manusia lainnya. Penuh dengan khayalan untuk hidup senang dan bahagia tanpa mau berusaha. Jaka sudah berhenti pergi ke sawah, karena tahu Shasha akan menyiapkan makanan untuknya dengan sekali tepukan tangan. Pria itu juga tidak lagi mau berjualan, karena kendi tanah liat di samping ranjangnya selalu penuh dengan uang. Gubuk reot mereka kini sudah menjadi istana, begitu megah dan indah.
Shasha menarik napas panjang. Sebenarnya, ini adalah pilihan yang cukup berat baginya. Tapi, semakin lama Jaka menjadi semakin malas dan tidak menarik. Dia harus meninggalkan pemuda itu sebelum para Dewa di kahyangan memintanya bertanggung jawab.
"Maafkan aku, Ka. Tugasku ke dunia bukan untuk membuat pemuda-pemuda rajin dan tampan sepertimu menjadi om-om gendut yang kerjanya hanya tidur-tiduran, tapi berharap tetap kaya raya. Apa kamu sudah menimbang berat badanmu sekarang?" Shasha menatap tajam pemuda di hadapannya.
"Sha, mari kita #negosiasi dulu, pikirkan baik-baik sebelum kau menyesal pergi dari istana ini," rengek Jaka.
"Ini istanamu, Ka, bukan milikku. Aku harus kembali ke istanaku sendiri dan mengembalikan semua yang kupinjam dari para Dewa untuk membantumu." Shasha mencoba melepaskan genggaman tangan pria itu. Hatinya sedih, matanya memerah dan bibirnya bergetar. Bagaimanapun, Jaka adalah cinta pertamanya, pemuda pertama yang pernah mengintipnya mandi.
"Baiklah, Sha, aku mengerti." Jaka menarik napas panjang. Wajahnya yang sendu perlahan-lahan kembali tersenyum. "Komar pernah bercerita tentang saudara-saudaramu yang lain, Dewi dan Seruni. Tolong kenalkan saja aku pada mereka," pinta Jaka memelas.
Tanpa sepatah kata, Shasha naik ke angkasa meninggalkan pemuda itu, Jaka Tarub, cinta pertama yang sudah mematahkan hatinya.