Buat sebagian orang,
hidup adalah “bermimpi, berjuang, dan
menang.” Tapi bagi saya, hidup tidak sesederhana itu.
Saya lahir dari keluarga
yang cukup besar di kota Tasikmalaya. Ayah masih memiliki gelar bangsawan dengan
dua belas saudaranya, dan Kakek merupakan salah satu Mantri atau ahli kesehatan pertama dikota Tasik. Sementara Ibu
adalah anak pemuka agama yang cukup disegani, tapi berbeda keyakinan dan
kebudayaan dengannya. Jadi, tidak heran kalau hidup kami sering menjadi sorotan
dan bahan gunjingan, entah itu positif maupun negatif.
Rasanya seperti tinggal
dalam rumah kaca, saat semua yang dilakukan menjadi bumerang. Kami seperti
menyuguhkan tontonan pada para tetangga, dan membiarkan mereka ikut mencampuri
kehidupan kami.
Seperti drama di
televisi, keluarga saya juga mengalami kesulitanan ekonomi, perselingkuhan,
pertengkaran, bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dengan mudah menjadi
bahan perbincangan orang. Semua itu bukanlah sesuatu yang membanggakan, dan
sangat tidak nyaman. Terlebih saat kedua orang tua saya memutuskan untuk bercerai
dan mereka meninggalkan kami. Banyak saudara dan teman yang mendadak jadi
wartawan, atau berpura-pura simpatik tapi memperburuk keadaan.
Tidak ada anak yang
suka kehidupan pribadinya jadi konsumsi orang banyak, begitu juga saya.
Beruntung, setelah memasuki bangku SMP, kami tinggal bersama Nenek di Bandung,
dan menjauh dari kota Tasik. Akhirnya saya bisa lepas dari kehidupan akuarium, tinggal
jauh dari sanak saudara, dan menemani Nenek yang sudah janda. Saat itu saya berhasil
lulus SMP dengan bantuan salah satu saudara. Tapi, setelah itu saya hanya
memiliki dua pilihan. Berhenti sekolah, atau sekolah sambil bekerja.
“Terinspirasi dari nilai-nilai perjuangan Ibu Rd. Dewi Sartika,”
saya bertekad untuk bisa sekolah, sekaligus membiayai adik-adik. Untuk itu, saya
harus bekerja supaya bisa mengubah nasib, meski tanpa dukungan orang tua dan sanak
saudara.
Kebetulan saya memiliki
tetangga yang baik, dan sudah kami anggap seperti orang tua sendiri. Waktu itu
beliau masih hidup dan menjabat sebagai Polisi Militer. Beliau memberi saya pekerjaan
di sebuah tempat hiburan milik kenalannya sebagai penyanyi, meskipun saya masih
SMU. Beliau memperkenalkan saya sebagai anaknya, sehingga para pengunjung tidak
ada yang berani mengganggu. Sebaliknya, mereka banyak membantu saya.
Jadi, gantinya belajar
untuk menghadapi ujian, saya sibuk mempelajari lagu-lagu top yang sering
diminta para tamu. Saya hanya ingin bertahan hidup, bisa sekolah, dan
menyekolahkan adik-adik. Itu saja sudah cukup.
Sekali lagi saya merasa
seperti hidup dalam rumah kaca, karena penyanyi adalah salah satu profesi yang
mengundang gunjingan. Apa yang saya lakukan dan kerjakan, tentu menjadi sorotan
teman-teman dan guru di sekolah, juga para tetangga. Apalagi setelah tetangga
yang baik itu meninggal, hidup bahkan terasa jadi lebih sulit.
Pekerjaan ini menuntut saya keluar rumah saat teman-teman sebaya bersiap tidur. Tak peduli dingin dan gelapnya malam, serta tatapan aneh orang-orang dalam angkutan kota. Saya pergi sendirian dan pulang menjelang subuh, saat para tetangga masih terlelap. Karena kelelahan, saya jadi suka tertidur di kelas, kurang bisa menerima pelajaran, dan sering dimarahi guru.
Pekerjaan ini menuntut saya keluar rumah saat teman-teman sebaya bersiap tidur. Tak peduli dingin dan gelapnya malam, serta tatapan aneh orang-orang dalam angkutan kota. Saya pergi sendirian dan pulang menjelang subuh, saat para tetangga masih terlelap. Karena kelelahan, saya jadi suka tertidur di kelas, kurang bisa menerima pelajaran, dan sering dimarahi guru.
Tapi, saya tidak punya
banyak pilihan. Siapa lagi yang bisa menolong selain diri sendiri? Kami harus
bertahan hidup dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Meski saya sadar,
menjadi penyanyi seperti ini tentu tidak mudah, apalagi masih sekolah dan memiliki
adik-adik kecil yang harus dibimbing.
Setelah lulus SMU, saya
membawa salah seorang adik, yang waktu itu masih SMP pindah ke kota Cirebon.
Saat itu saya mendapat pekerjaan di sebuah pabrik, jadi bisa mendaftar ke sekolah
bisnis dan mengambil kelas malam, khusus untuk karyawan. Ternyata, setelah
berjalan tiga bulan, penghasilan saya tidak bisa menutupi biaya sehari-hari dan
biaya sekolah adik.
Karena tidak ingin
hanya mengandalkan ijazah SMU, saya tidak menyerah dan pindah ke kampus lain, yang
waktunya lebih fleksibel. Saya mengambil kelas karyawan di Unswagati jurusan
sastra Inggris, sambil bekerja di sebuah sekolah swasta sebagai tenaga
administrasi. Sayangnya, lagi-lagi penghasilan saya ternyata masih belum cukup
memenuhi seluruh kebutuhan hidup. Hal ini membuat saya sedih, karena itu
berarti harus berhenti dari universitas dan kembali ke Bandung.
Terinspirasi
dari nilai-nilai perjuangan Ibu Rd. Dewi Sartika,
saya kembali bersemangat untuk sekolah. Saya mengambil program diploma jurusan komputer
sekertaris, di sebuah sekolah komputer yang memiliki program beasiswa. Setiap
tiga bulan sekali saya ikut test peringkat, dan berhasil menyelesaikan program
diploma satu ini dengan beasiswa penuh. Tentu saja, tetap harus sekolah sambil
bekerja. Karena bukan hanya saya sendiri yang membutuhkan biaya.
Tapi, kali ini pekerjaan
saya tidak terikat. Saya menerima tawaran manggung di beberapa acara pernikahan,
tampil menyanyi dan menjadi pembawa acara musik di televisi lokal, serta
menjadi model di sebuah sekolah Seni Fotografi dan Disain. Selain itu, saya
juga magang menjadi Sales Promotion Girl di perusahaan travel dan rokok.
Saya tidak peduli lagi meski
hidup kembali seperti dalam rumah kaca. Bukankah setiap orang bebas
mengeluarkan pendapat? Meski saya tahu, ada yang keberatan dengan kehidupan saya,
ada juga yang kagum melihat apa yang sudah saya lakukan untuk keluarga sejauh
ini. Sukses tidak akan diraih tanpa kerja keras. Itu prinsip saya.
Berbekal ijazah diploma
itu saya mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan ekspor impor yang cukup
terkenal di Bandung. Sayangnya, perusahaan tersebut akhirnya bangkrut. Jadi, saya
masih harus mencari tambahan untuk biaya keluarga dan sekolah adik-adik yang
bertambah besar.
Setelah perusahaan
tutup, saya kembali terjun di dunia tarik suara. Karena kali ini saya sudah
tidak terikat dengan sekolah maupun kuliah, saya ikut agensi yang mengirim
penyanyi ke luar kota. Dengan berbekal nekat saya mulai merantau dari kota ke
kota, dari pulau ke pulau, hingga hampir seluruh propinsi di Indonesia.
Tujuan saya hanya ingin
menyekolahkan adik-adik hingga selesai dan bisa memenuhi kebutuhan pangan dan
sandang mereka. Meski tanpa bantuan orang tua dan tanpa meminta pertolongan
dari sanak saudara, kami harus mampu.
Syukurlah, masa-masa
sulit itu kini sudah terlewati. Sekarang, saya sudah menikah dan memiliki usaha
sendiri, bahkan bisa mengupah karyawan. Sementara adik-adik saya bukan hanya
bisa bersekolah hingga lulus SMU, tapi mereka juga berjuang hingga tidak
membutuhkan bantuan saya lagi untuk menyelesaikan gelar sarjana.
Ternyata, hidup seperti
rumah kaca inilah yang bisa memberi inspirasi bagi sekeliling, terutama bagi
orang-orang terdekat. Bukan hanya sekedar bicara, tapi menunjukkan pada mereka
bagaimana cara kita berjuang dan tidak menyerah setiap menghadapi kenyataan
yang tidak sesuai harapan. Kita harus bangkit lagi saat terpuruk, dan tetap
semangat untuk maju.
Seperti sepeda roda dua,
supaya hidup seimbang, kita harus sabar dan tetap bergerak hingga bisa sampai
ke tujuan. Jadilah inspirasi, dan nikmatilah setiap prosesnya. Biarkan hidup
mengalir hingga tiba ke garis akhir yang sesungguhnya.
Hidup
itu harus mengharapkan yang terbaik, meski harus bersiap menerima kenyataan yang
terburuk.